Matahari tepat berada di atas kepala ketika kami menuruni angkot. Mengambil langkah seribu untuk mencari tempat yang teduh sepertinya memang menjadi satu-satunya pilihan untuk kami berdua, setelah aku membayar ongkos kepada abang supir terlebih dahulu tentunya.
"Duh panasnya ampun ya" celetuk Pipit saat kami mencapai beranda sebuah toko buku yang memang menjadi tujuan kami siang ini.
"Ya udah cepetan masuk, biar bisa ngadem, hahaha" jawabku semangat.
Kami pun akhirnya memasuki toko buku yang terdiri dari dua lantai itu. Beruntung di sini kami bisa menikmati udara sejuk yang berasal dari mesin bernama AC itu. Sebenarnya aku juga tidak terlalu bersahabat dengan AC, tetapi disaat-saat seperti ini AC bukanlah hal yang perlu dihindari.
"Aku ke sana dulu ya Put" ujar Pipit sambil berlalu menuju rak buku yang memajang deretan buku cerita untuk anak-anak.
Pipit, kembaranku itu memang gemar sekali membaca cerita untuk anak-anak dan mengoleksinya. Menurutnya, di buku-buku tersebut justru malah tersembunyi banyak pelajaran. Walau sederhana, tetapi sering mengena. Terkadang mencari pelajaran hidup itu tidak perlu membaca buku yang berat-berat menurutnya. Yah memang kadang kala, dia memang benar. Dan selain karena dia suka membaca dongeng, kami berdua memang memiliki cita-cita untuk memiliki perpustakaan untuk anak-anak. Mimpi yang semoga suatu saat nanti dapat tercapai.
Sekarang saatnya aku yang menjelajah ke rak buku yang memajang deretan novel-novel. Aku memang bisa dikatakan adalah pembaca buku pemula, masih meraba untuk mengenali genre-genre yang ada. Sering kali justru buku yang kubeli, setelah dibaca justru tidak menarik sama sekali isinya. Tetapi terkadang malah sebaliknya, menarik dan banyak menambah pengetahuan.
Akhir-akhir ini aku justru sering membeli novel. Dengan rasa sok tahuku, sering kali asal comot saja. Aku sering kali justru jatuh cinta pada cover terlebih dahulu saat membeli buku. Menurut Pipit aku itu justru adalah penikmat hasil seni. Tidak peduli apapun itu, sesuatu yang menarik untuk dipandang dan dilahap selalu aku comot saja. Entahlah, kembaranku itu memang selalu tahu bagaimana aku yang sebenarnya.
"Udah nemu yang dicari?" tanya Pipit membuyarkan lamunanku.
"Udah nih satu" jawabku sambil menyodorkan sebuah novel karangan salah seorang teman sesama blogger.
"Wah ini kan bukunya mbak Enno ya Put? Udah terbit ternyata" ujar Pipit antusias.
"Iya, akhirnya terbit juga. Kamu udah nemu juga?" tanyaku.
"Udah nih, ada peri-perinya gitu. Udah nggak sabar mau baca" jawab Pipit girang.
"Sebenarnya aku pengen beli yang ini juga nih" ujarku sambil menunjukkan sebuah novel bergenre horor pada Pipit.
"Terus, kenapa nggak dibeli aja Put?" tanya Pipit.
"Horor loh Pit ceritanya, takutnya ntar malah nggak kebaca lagi" jawabku.
"Kalo penasaran ya dibeli aja. Nggak ada salahnya kan nyoba baca hal baru. Kenalan yuk!" ujar Pipit.
"Haaaa... kenalan sama siapa?" jawabku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kami.
"Ya kenalan sama genre ini Put" jawab Pipit sambil terkikik geli.
"Yaaa... aku kirain kenalan sama siapa, hahaha" ujarku sambil ikut tertawa.
"Udah yuk langsung bayar aja, ntar nggak keburu ke rumah Bu'de. Kesorean ntar" ujar Pipit menghentikan tertawaanku.
Kami pun bergegas menuju kasir untuk membayar buku-buku yang kami beli. Sore ini kebetulan kami ada janji untuk berkunjung ke rumah Bu'de yang kebetulan sedang mengadakan arisan. Aku sempat berpikir tadinya Pipit mengajakku untuk berkenalan dengan salah satu anak lelaki dari temannya Bu'de yang sering diceritakan pada kami. Ternyata bukan. Dasar otakku ini entah mengapa seperti diinstruksikan untuk memikirkan lelaki yang padahal hanya kudengar ceritanya dari Bu'de saja. Tetapi mungkin tidak ada salahnya nanti sesampainya di rumah Bu'de untukku berkenalan dengan lelaki itu. Menghampirinya dengan manis dan berkata "Kenalan Yuk!".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar